Selasa, 18 Desember 2012

Sang Bocah Hujan Part.3


Hujan tak pernah turun lagi setelah hari itu. Sama seperti Ian yang tak juga datang. Meskipun aku selalu menunggunya. Tak ada kabar. Tak ada berita. Ian seolah hilang ditelan bumi.

Aku selalu menantinya di halte yang sama. Selama berbulan-bulan.
Berharap wajah tampannya akan muncul diantara kerumunan orang-orang. Berharap tubuhnya yang menulang akan muncul di tengah padatnya jalan raya. Aku selalu berharap bahwa penantian ini tak kan sia-sia. Dan akan membuahkan hasil yang memuaskan. Namun ternyata tidak. Takdir tetap teguh pada pendiriannya.

Tapi, di hari itu, di hari ketika aku memutuskan untuk berhenti menguatkan pegharapan ini, sebuah jawaban datang melalui seorang wanita paruh baya.

Wanita ini turun dari mobilnya, tepat di depan halte tempatku menunggu. Ia tersenyum, dan senyumnya membuatku teringat pada sosok yang sedang kutunggu kehadirannya.

            “Kamu Ana ya?”tanya wanita itu.

            “I-iya. Saya Ana tante. Tante siapa ya?”ucapku.

            “Tante mamanya Ian. Kamu bisa ikut tante sebentar?”

Mataku langsung melotot saat mendengar jawaban dari bibir wanita itu. Dan tanpa babibu lagi, aku langsung mengangguk dan kami pun segera masuk ke dalam mobil.

Awalnya aku tak berani meyakini diriku, bahwa mamanya Ian akan mengajakku ke rumah sakit. Namun saat mobilnya benar-benar terparkir di pelataran rumah sakit ini, pikiran-pikiran buruk mulai berseliweran di kepalaku.

            “Tante kenapa ngajak saya ke sini? Ada apa dengan Ian?”tanyaku khawatir.

Namun mamanya Ian hanya tersenyum. Aku bisa melihat bekas lelehan air mata di kedua pipinya yang cekung. Kami mulai berjalan beriringan memasuki rumah sakit. Bau obat-obatan pun langsung menyergap masuk ke dalam hidungku.

Kami lalu berhenti di kamar bernomor 203. Mamanya Ian membuka pintu dan mempersilahkanku masuk terlebih dahulu.

Nyaris saja aku pingsan saat melihat sosok yang terbaring di atas tempat tidur. Adrian. Terbaring tak berdaya dengan perlatan medis yang hampir memenuhi tubuhnya. Ian tampak kurus. Tulang-tulangnya terlihat jelas dari balik kulitnya yang pucat.

Aku segera berlari ke arahnya. Memeluk tubuhnya seerat mungkin. Air mataku kini sudah berjatuhan. Mengalir deras seperti air hujan di luar.

            “Ian sudah lama nunggu kamu,”kudengar mama Ian berkata.

            “Namun baru sekarang bisa tante kabulin. Dia bener-bener sayang sama kamu. Semenjak kamu nyelamatin dia, 3 tahun yang lalu,”

Aku menoleh ke arah wanita itu. Bingung.

            “Nyelamatin Ian? 3 tahun yang lalu?”

            “Iya. Kamu yang menolong Ian dari serangan mobil itu. Ian sangat menyesal karena tidak bisa menjenguk kamu untuk mengucapkan terima kasih. Akibat kehujanan waktu itu, kondisi Ian drop. Makanya, tante sama om langsung membawa Ian ke rumah sakit di Singapura,”

Aku sontak menelan ludah.

“Ian sebenarnya tidak bisa bertahan sampai selama ini. Namun 1 hal yang membuatnya terus berjuang untuk melakukan semuanya, itu karena kamu, Ana”

Aku tak bisa mengucapkan apa-apa lagi. Semua jawaban ini terlalu mengejutkan. Ternyata itu yang membuat Ian mengajakku berlari-larian menikmati hujan. Dan itu pula arti dari ucapan terima kasih dan permohonan maafnya.

“Tante benar-benar tekejut saat tahu kalau 3 bulan yang lalu Ian mengajakmu bermain hujan. Anak itu sudah sakit sejak itu. Namun demi kamu, Ian rela melakukan apa saja. Ian mencintai hujan. Karena kamu juga melakukan hal yang sama,”

“Ian sudah dari dulu mengagumi kamu. Setiap pergi ke rumah sakit untuk check up, Ian selalu minta duduk di dekat jendela. Supaya saat kami melewati halte, dia bisa melihat kamu berdiri di sana sambil bermain dengan air hujan. Ian juga bilang, kalau kamu mirip tokoh anime yang sering ditontonnya,”

“Ian sampai nekat menemui kamu meskipun harus hujan-hujanan. Bahkan tanpa sepengetahuan tante. Tapi…yah…saat itu-lah, kecelakaan itu terjadi,”

            “Dan sekarang, Ian sudah tidak bisa bertahan lagi. Leukimia yang dideritanya, sudah mencapai stadium akhir. Tapi tante tahu. Ian sudah tenang. Ia sudah bisa bertemu dengan kamu,”

Sontak kakiku menjadi lemas saat mendengar ucapan pasrah dari bibir wanita itu. Dan air matakupun mengalir semakin deras.

            “Ian,”lirihku.

Perlahan, aku menoleh menatap wajah Ian dengan nanar. Wajah tampan itu, kini tak lagi menyunggingkan senyuman. Dan mata pekat itu, kini tak lagi menunjukkan keramahan.  Sosok Ian telah pergi. Mungkin belum, tapi akan. Dan setelah itu, habis sudah.

Aku menggenggam tangan Ian dalam genggamanku. Menyelipkan jari-jarinya yang kurus, pada setiap celah jari yang kumiliki.  Sama seperti cara Ian menggenggam tanganku dulu. Air mataku pun meleleh semakin deras. Bibirku tak henti-hentinya bergerak guna mengelu-elukan namanya.

Namun tiba-tiba saja, kurasakan tangan Ian bergerak di dalam genggamanku. Aku lantas menjerit.

            “Tante! Tangan Ian bergerak,”

            “Tante panggil Dokter sekarang,”balas mama Ian panik.

Kulihat mata Ian, lambat laun mulai terbuka. Pelan dan begitu ringkih.

            “Ian,”lirihku.

Seulas senyum terbentuk di wajah tampannya.

            “Jangan menangis,”ucap Ian lemah.

Aku hanya menggeleng-geleng tak percaya. Ian-Ian-Ian. Bertahanlah. Kumohon…

Tangan Ian yang kurus, mengelus kepalaku lembut.

            “Jaga diri kamu baik-baik ya,”

Aku mendekap mulutku tak percaya.

“ Dan.. jangan pernah… membenci …hujan..,”

Lalu dengan satu tarikan napas, mata laki-laki itu pun, terpejam sepenuhnya.

oOOo

Aku masih berdiri di sini. Di tanah pemakaman ini. Menatap gundukan tanah yang tertutupi bunga-bunga, di mana laki-laki yang ku cintai, terbaring di dalamnya.

Kini terlalu sulit bagiku untuk membedakan, yang mana air hujan, dan yang mana air mataku. Semuanya telah bercampur menjadi satu.

            “Ana, ayo pulang. Nanti kamu sakit,”mama berusaha membujukku.

Aku menghela napas lelah.

            “Tunggu bentar, ma. Hanya beberapa kata saja,”

Dan aku pun berlutut, lalu menjulurkan tanganku untuk mengelus-ngelus batu nisan Ian. Setelah menarik napas sebentar, aku pun berkata :

            “Selamat jalan Bocah Hujan. Aku harap kamu bahagia di sana,”

oOOo

Image Source:
http://i.telegraph.co.uk/multimedia/archive/02358/rain-room_2358587k.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar