Rinai hujan perlahan mulai menetes membasahi bumi.
Aku semakin mempercepat lariku menuju halte bus yang kini mulai tampak dari
kejauhan. Genangan-genangan lumpur pun mulai berkecipak hingga meninggalkan
bercak di ujung rok abu-abuku saat tak sengaja terinjak.
Tak lama kemudian, aku pun sampai di halte bus tua
itu. Segera ku lepas dan ku kibaskan jaket jeansku yang telah basah. Berusaha
untuk mengurangi sedikit saja air hujan yang berhasil diserapnya. Baju putih
dan rok abu-abuku yang basah total pun kini sudah menyatu dengan kulitku. Dan
rambutku, oh…jangan ditanya lagi! Basah dan lengket.
Aku menghela napas sembari menatap hujan yang
semakin gencar melancarkan aksinya. Bahkan kilat dan guntur pun kini ikut
mengambil peran dalam permainan semesta ini.
Hujan. Aku benci hujan. Hujan hanya menimbulkan
kekacauan. Terlebih lagi di kota yang selalu macet seperti Tokyo. Memang para
petani membutuhkan hujan untuk sawah mereka, tapi siapa yang akan menjadi
petani di kota metropolitan seperti ini? Belum lagi bencana yang ia timbulkan.
Hahh…hujan memang benar-benar MEREPOTKAN!
Dan gigiku mendadak berkeretak saat semilir angin
tiba-tiba berhembus. Hawa dingin yang menyeruak seakan menusuk tubuhku hingga
ke tulang belulang. Lantas aku menggosok-gosokkan ke dua telapak tangannku
untuk mencari kehangatan.
“Hujan sialan,”rutukku pelan.
Aku berbalik dan melangkah menuju kursi halte yang
mulai terkelupas catnya. Kursi itu terasa basah saat aku duduki. Menambah hawa
dingin yang tengah kurasakan.
Aku mencoba menghibur diri dengan mendegar I-pod.
Namun, sial! Baterainya lemah! Aku pun beralih mengambil ponselku di dalam tas,
dan langsung menghela napas saat ku ingat bahwa benda itu sedang ku charge di
rumah.
Sial! Sial! Sial!!!! Bagaimana aku pulang kalau begini?
Motorku sedang diperbaiki di bengkel, itu sebabnya
aku pulang dengan menaiki bus. Tapi sampai sekarang, bus yang kutunggu tidak
datang-datang juga. Kalau menelpon taksi pun, pakai apa???
Argggghhhhhhhhhhhhhh!!!!!!!!!!!!
Aku mengacak-acak rambut merah mudaku frustsasi lalu
menutup wajahku dan mulai menarik napas dalam-dalam.
Mendadak, kurasakan kursi yang kududuki bergerak.
Aku menoleh ke sumber getaran dan mendapati seorang anak laki-laki tengah duduk
di sisi lain kursi.
Laki-laki itu mengenakan kaos putih dan celana
jeans. Seluruh tubuhnya terlihat basah kuyup. Namun anehnya, tak sedikitpun kutemukan raut kedinginan atau
tak nyaman dari wajahnya. Anak laki-laki itu malah menerawang menatap hujan
dengan senyum simpul yang terukir di wajahnya yang cukup rupawan.
“Hujan memang indah, ya,”bibirnya berucap.
Aku mengerutkan keningku heran. Mataku
mengerjap-ngerjap linglung. Dengan siapa laki-laki ini berbicara?, tanyaku
dalam hati.
Tiba-tiba saja anak laki-laki itu - yang kutebak
seumuran denganku - menoleh dan menatapku. Pandangan matanya jatuh tepat ke
dalam bola mataku. Membuat sesuatu yang
ada di dalam dadaku, mendadak berdesir. Ahhh! Aku bersumpah pasti wajahku
tengah memerah saat ini!!!
Ia tersenyum. Sebagian rambut hitamnya yang basah,
menempel di keningnya yang putih. Tubuhku kaku seketika. Mataku telah terkunci
rapat pada tatapannya yang ramah namun sedikit sayu itu.
“Aku sangat suka hujan,”ucapnya lagi.
Bibirku terlalu kelu untuk berbicara. Seolah semua
konsentrasi dan nalar logikaku tersedot habis ke dalam permata pekat yang
menghiasi rongga matanya.
“Kalau kamu?”
Dengan susah payah, aku menggerakkan bibirku untuk
menjawab.
“Eh-eh, ti-tidak. Aku ti-tidak suka hu-hu-jan”
Tampangku pasti terlihat konyol sekali saat ini.
Bayangkan, untuk berbicara beberapa patah kata saja, aku sampai gagap seperti
itu.
Namun yang mengejutkan, anak laki-laki itu tidak
menatapku mencela ataupun mengerutkan keningnya heran. Ia hanya berbalik
menatap tetesan hujan yang terjatuh dari atap halte. Masih dengan senyum
menawannya.
“Memang. Tak banyak yang menyukai hujan. Eh, ngomong-ngomong, nama kamu
siapa?”
Ia berbalik lagi dan menjulurkan tangannya ke
arahku. Awalnya aku ragu untuk menyambutnya, namun dengan perlahan, akhirnya ku
sambut juga uluran tangan itu.
“Sakura Haruno,”jawabku singkat.
Anak laki-laki itu menggenggam tanganku dalam
genggamannya. Dingin. Itulah yang kurasakan.
“Nama yang bagus. Aku Sai Uchiha. Panggil saja Sai,”ia tersenyum lalu
melepaskan jabatan tangannya.
Keheningan datang
menyeruak setelah sesi perkenalan itu. Kami tenggelam dalam pikiran
masing-masing. Aku menununduk menatap sepatu converse putihku yang tertutupi
lumpur. Namun secara diam-diam, aku menatap Sai melalui sudut mataku. Aku
melihatnya kembali bergeming menatap tetesan hujan yang kini mulai mereda.
Ku telusuri setiap bagian wajahnya. Ian memiliki
wajah yang berbentuk persegi. Namun agak sedikit cekung di bagian pipi.
Rambutny yang hitam dan klimis, membingaki wajahnya yang tampan dan sedikit
pucat. Aneh. Aku merasa pernah melihat wajah itu sebelumnya. Tetapi di mana?
Dan tiba-tiba saja, Sai mengalihkan pandangannya dan
menatapku. Sontak ku tundukkan wajahku kembali. Kupingku terasa panas. Napasku
memburu dan jantungku berdegup cepat sekali.
“Kamu menunggu bus ya?”tanyanya.
Aku mengangguk kikuk. Masih tetap menunduk.
“Mmm…aku rasa busmu sudah datang,”ucapnya lagi.
Butuh beberapa saat bagiku untuk mencerna setiap
kata yang terlontar dari bibirnya. Namun suara kernet bus yang berisik,
membuatku tersadar dari kebingunganku itu. Aku mendongak dan segera panik saat
kulihat bus jurusanku sudah terparkir di depan halte yang aku tempati. Dan
dengan gerakan cepat, aku bangkit dan menarik tas selempangku.
Aku hendak berlari, namun mendadak berhenti ketika
kurasakan kulit tangan Ian yang dingin, menyentuh jemariku dan menggenggamnya
ke dalam jemarinya.
Sontak aku menoleh. Ia menatapku, masih dengan
tangan kami yang saling tergenggam. Perlahan, Ian pun tersenyum.
“Besok kamu menunggu di sini lagi kan?”tanyanya.
Aku menjawabnya dengan anggukan ragu. Ian tersenyum
semakin lebar. Sepertinya senang dengan jawabanku.
“Besok aku akan ajak kamu menikmati hujan,”ucapnya lagi lalu perlahan
melepas tanganku.
Senyumnya terlalu menawan. Hingga membuatku sulit
untuk menarik napas. Dan bukannya balas tersenyum atau apa, aku malah pergi
meninggalkannya menuju bus.
Aku tak menatapnya saat berjalan, namun setelah
duduk di kursi bus, kugerakkan mataku untuk sekedar meliriknya.
Yah...Ian masih di sana. Masih duduk dengan mata
menatap sisa-sisa air hujan yang menetes dari atap halte. Hingga akhirnya, bus
pun berjalan menjauh, dan hilang sudah sosok Sang Bocah Hujan dari pandanganku.
oOOo
Image Source:
http://dementasworld.webs.com/weather-picture-photo-mist-rain-RedDeath.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar