Hujan kembali datang. Bahkan 2 kali lebih deras dari
sebelumnya. Dan aku, lagi-lagi terjebak di halte tua ini. Sama seperti kemarin.
Namun ada satu hal yang berbeda, aku tak menganggap ini sebagai kesialan.
Tak dapat kupungkiri keinginanku, untuk tersenyum
lebar saat kulihat siluet tubuh yang ku kenal mendekat ke arahku. Ian. Tak
memakai payung, jas hujan, atau apapun. Berjalan santai menembus derai hujan
yang mengalir deras dari atas cakrawala. Bahkan di tengah cuaca yang buruk seperti ini pun, ia
masih bisa menyunggingkan senyum menawannya.
“Sudah menunggu lama?”tanyanya sedikit terengah saat tiba di hadapanku.
Aku menatapnya sebentar. Lalu menggeleng.
“Bagus,”balas Ian ceria.
Tanpa aba-aba, ia langsung menarik tanganku dan
membawaku ke bawah naungan hujan. Aku menjerit. Sontak kulepas tangan Ian dari
tanganku dan berlari kembali menuju halte. Laki-laki itu menatapku kebingungan.
“Kamu kenapa?”tanyanya padaku.
Aku hanya menunduk sembari mendekap tubuhku. Dingin.
Dingin sekali.
“A-aku nggak apa-apa. Cu-cma kaget a-aja waktu kamu narik
ti-tiba-tiba,”jawabku setengah menggigil.
Ian tersenyum dan mengelus kepalaku lembut. Ahh…tubuhku
yang tadinya kedinginan, mendadak mendapatkan siraman kehangatan. Ian kembali
menggenggam tanganku.
“Kamu percaya kan sama aku?”tanyanya.
Aku memberanikan diri untuk menatap langsung ke bola
matanya. Dan cukup terkejut ketika Ian melakukan hal yang sama. Aku termenung.
Wajah Ian seolah memberikan kesan
familiar padaku. Dan dengan perlahan, aku pun mulai mengangguk.
Senyum Ian benar-benar lebar sekarang. Ia mengajakku
keluar dari naungan halte, layaknya seorang pangeran yang membantu putrinya
untuk turun dari kuda.
Badanku mulai basah kuyup. Air hujan yang jatuh
seakan menggelitik ketika menghantam permukaan kulitku. Sulit melihat dengan
air yang menumpuk di atas bulu matamu. Sama sulitnya untuk berbicara dengan air
yang menyusup ke dalam celah bibir.
Namun Ian tak terlihat seperti itu. Sembari
menggenggam tanganku, ia mengajakku berlari menembus hujan. Kepalanya mendongak
dengan mata menyalang menantang tetesan liquid tawar itu. Bibirnya terbuka dan
menjeritkan tawa kemenagan.
Kami terus berlari menyusuri jalan raya yang
dipenuhi kendaraan. Dan masih terus berlari ketika kami memasuki gang
perkampungan yang sempit. Entah kenapa, aku mulai merasa tertarik dengan
sensasi yang hujan berikan padaku. Rasa dinginnya seolah memberikan kesegaran
baru padaku. Namun tak urung, aku merasa lelah juga berlari seperti ini
“Ian, bisa berhenti nggak? Aku capek!”teriakku
melawan suara hujan.
“Tunggu! Sebentar lagi sampai kok!”balas Ian.
Aku menghela napas dan tetap mengikutinya berlari.
Jujur saja, aku benar-benar tidak kuat dalam keadaan seperti ini. Genggaman
tangan Ian begitu erat, namun tak mendominasi. Lembut, seolah menuntun dan
melindungiku.
Itulah yang membuat jantungku berdetak tak karuan.
Berdentum-dentum seperti beduk yang dipukul menjelang berbuka puasa.
Tak berapa lama, kami pun berhenti. Ternyata Ian
membawaku ke lapangan sepak bola yang ada di perkampungan kumuh itu. Beberapa
anak kecil tampak bermain bola di sana. Berlari-lari riang mencoba saling
mengejar.
Tetapi aku masih belum bisa memahami maksud dan
tujuan Ian mengajakku ke sini. Dan belum sempat aku menanyakannya, Ian sudah
menarikku kembali dan berlari menuju kerumunan anak-anak kecil itu.
Melihat kami yang datang, sontak gerombolan anak
kecil itu berhenti bermain. Mereka menatapku dan Ian, dengan kening berkerut
dan pandangan yang penuh tanda tanya.
“Ian, mending pulang yuk,”bisikku pada Ian.
Namun Ian sama sekali tak menghiraukanku. Ia masih
mantap berlari sembari menarikku di belakangnya. Aku hanya bisa menghela napas
pasrah.
“Kita boleh gabung nggak?”Ian bertanya saat kami sudah tiba di hadapan
anak-anak kecil itu. Namun bukannya menjawab, mereka hanya diam dan saling
menatap satu sama lain dengan bingung.
“Ian, udah. Pulang aja yuk. Hujannya makin deres,”bisikku lagi pada Ian.
“Tunggulah. Katanya mau nikmatin hujan?”jawab laki-laki itu lalu
tersenyum manis padaku. Ya Tuhan! Aku rasa aku akan meleleh saat ini juga!
Anak laki-laki yang keliahatan paling tua, menyeruak
dari gerombolan tadi dan berjalan menghampiri kami.
“Tapi yang main udah pas bang,”ucapnya.
“Tenang aja. Kita kan berdua. Jadi pas kan kalau tanding,”jawab Ian.
Anak itu kini beralih menatapku dari ujung kaki
hingga ujung kepala. Membuatku ingin segera mendaratkan jitakan keras ke atas
kepalanya yang botak.
“Emang dia bisa main?”tanyanya sembari menunjukku. Aku lantas mendelik
ke arahnya. Enak saja! Jadi dia pikir aku tidak bisa main?
Namun kudengar Ian tertawa.
“Tenang saja! Dia bisa main kok! Bahkan ngalahin kalian kalau
perlu!”ujarnya sembari tertawa.
Kini aku yang gantian mendelik ke arah Ian. Lancang
benar laki-laki ini berbicara? Bagaimana kalau nanti aku kalah? Dasar!
“Mmmm….oke deh! Abang di tim saya. Ntar mbak itu di
tim temen saya,”ucap anak laki-laki itu kemudian. Huh! Dasar curang!, rutukku
dalam hati.
“Oke! Kita mulai sekarang!”teriak Ian riang.
Sejak berangkat dari halte tadi, akhirnya Ian melepaskan
genggamannya. Aku merasakan pegal-pegal pada jemari tanganku. Namun anehnya,
ada perasaan lain yang lebih mendominasi. Dan bukan hanya jemari tanganku saja
yang merasakannya, namun hatiku juga.
Rasa itu, kehampaan. Aneh. Untuk apa aku merasakan hal
seperti itu pada orang yang bahkan belum pernah aku temui?
Aku menatap Ian yang berjalan menuju timnya. Dan aku
pun beranjak menuju tim ku.
Sial! Bocah sialan! Terang saja aku dimasukkan ke
tim temannya itu, isinya bocah-bicah ingusan semua! Semprul! Aku rasa aku harus
berjuang keras untuk mengalahkan mereka.
Hujan yang turun kini semakin deras. Membuat tanah
lapang itu menjadi becek dan berlumpur. Sudah tak kupedulikan lagi bagaimana
bentuk seragam sekolahku. Semuanya telah
berubah menjadi coklat.
Permainan dimulai dari Ian yang menendang bola dan
mengopernya pada teman se-timnya. Aku mengejar bola itu dan berusaha
merebutnya. Sempat terjadi insiden tarik menarik baju saat aku berusaha untuk
merebut bola itu. Ahh…biar curang asalkan menang!!
Dan bola pun kini ada di pihakku. Aku menggiring
bola itu dengan susah payah. Berat sekali rasanya berlari di tengah lumpur
seperti ini. Namun aku tak mau menyerah. Sudah saatnya wanita mengalahkan
lelaki.
Gawang lawan kini sudah tampak di kejauhan. Anak
yang menjaga gawang itu pun terlihat bersiaga. Setelah menentukan jarak yang
cukup, akupun berhenti dan bersiap melempar serangan.
Aku tarik kakiku ke belakang dan dengan sekuat
tenaga, ku tendang bola sepak itu. Jauh dari harapan! Bola yang ku kira akan melayang
tinggi, malah melayang datar memprihatinkan. Sial!!!
Anak yang menjaga gawang tadi menyeringai.
Bersiap-siap untuk menangkap bola hasil seranganku yang gagal.
Namun saat anak laki-laki itu hendak menghalau bola,
ku lihat kaki kirinya terperosok ke dalam kubangan lumpur. Tubuh anak itu
oleng, lalu jatuh terjerembab mencium tanah.
Sontak aku tertawa. Terlebih lagi ketika melihat
bola yang tadi ku tendang, masuk ke dalam gawang dengan mulusnya.
Aku ingin meloncat kegirangan, namun gagal saat
kurasakan tubuh-tubuh mungil anggota setim-ku, memeluk tubuhku dari berbagai
arah. Aku yang belum siap mendapat serangan itu, langsung jatuh
berguling-guling di lumpur.
Aku tak marah. Melainkan tertawa. Tawa paling riang
yang pernah aku rasakan selama hidupku. Tubuhku berguling-guling di atas
lumpur. Badanku basah kuyup akibat air hujan. Namun tak kurasakan risau
sedikitpun. Aku merasa bebas. Lepas. Rasa benciku pada hujan pun mendadak
sirna. Ketakutanku akan hujan, kini berhasil kuhilangkan. Hujan tak buruk.
Hujan tak membawa sial.
Hujan memberikanku kebebasan. Kebebasan padaku untuk
menjadi diriku sendiri. Di bawah naungan hujan, aku tak perlu berlagak sok
pintar. Tak perlu menjadi Ana-Sang Perfeksionis, seperti yang sering
teman-temanku ucapkan. Aku hanya menjadi aku. Ana yang senang bermain di
kubangan lumpur. Ana yang tak pernah takut kebasahan.
Tubuhku masih berbaring telentang, meskipun
tubuh-tubuh mungil yang tadi memelukku, sudah pergi menjauh. Ku lihat bentangan
langit kelabu yang tertera di atasku. Titik-titik hujan yang jatuh, masuk ke
dalam mulut dan mataku. Namun aku tak mau menutup ke dua panca indra itu.
Kubiarkan lidahku menyesap rasa tawar hujan yang berhasil menyelinap ke
dalamnya. Dan kubiarkan mataku menampung tetes demi tetes hujan yang berhasil
memasukinya.
Rasa benciku pada hujan, muncul bukan karena hujan
menyebabkan kemacetan ataupun bencana alam. Melainkan sebab yang lain.
Umurku masih 14 tahun. Saat itu pulang sekolah. Aku
sedang menunggu bus di halte yang biasa aku gunakan.
Hujan turun dengan deras sekali. Kilat dan guntur
pun saling bersahut-sahutan. Namun, aku malah tersenyum mendapati keadaan ini.
Tak seperti orang-orang lain yang malah merutuk dan melancarkan sumpah serapah.
Aku mencintai hujan. Aku merasakan dunia yang
berbeda ketika mencium aroma-aroma rumput dan tanah yang basah. Saat melihat
tetes-tetes hujan yang mengalir membasahi setiap helai daun pepohonan, aku bisa
merasakan besar cinta Tuhan pada makhluk yang telah ia ciptakan.
Tanganku tak henti-hentinya bermain dengan tetesan
hujan yang mengalir dari atap halte. Mengumpulkannya dalam telapak tanganku,
hingga kubiarkan meluap-luap. Dan saat itulah aku melihat bocah laki-laki itu.
Meskipun ia berdiri di seberang jalan, dan air hujan
sedikit mengaburkan pandangan, aku bisa melihat bahwa bocah laki-laki itu
menatapku. Wajahnya tak terlalu jelas. Namun sepertinya, ia sedang tersenyum.
Dan kemudian, kulihat ia berjalan ke arahku. Dengan
badan yang basah kuyup oleh air hujan, ia melangkah menyebrangi jalan raya.
Mataku sontak melotot tajam saat kulihat sebuah
mobil melaju cepat ke arahnya. Namun anak itu masih tetap berjalan santai
seolah tak terjadi apa-apa. Orang-orang di sekitarku kini mulai berteriak
memperingatinya.
Mobil itu berputar-putar ganjil di jalan raya.
Sepertinya bannya tergelincir. Namun yang menjadi permasalahan, bocah laki-laki
itu belum juga menyadari posisinya. Mobil gila itu pun semakin mendekat.
Orang-orang di sekitarku juga berteriak semakin kencang.
Aku tak bisa berkata apa-apa saking shocknya. Hanya
tinggal beberapa detik saja, body mobil itu akan langsung menghantam tubuh
bocah laki-laki itu.
Dan entah mendapat dorongan dari mana, aku
melangkahkan kakiku untuk berlari meninggalkan halte bus menuju bocah laki-laki
yang mulai terlihat panik itu. Sudah
terlambar bagiku untuk kembali. Yang dapat kulakukan hanyalah menarik anak
laki-laki itu, lalu membawanya ke seberang dengan secepat kilat.
Namun sayang, jalan aspal yang becek membuatku
terpeleset dan tubuhku pun limbung. Masih sempat ku dorong tubuh anak laki-laki
itu hingga ke seberang, tetapi tak ada kesempatan lagi bagiku untuk
menyelamatkan diri.
Dapat kudengar suara orang-orang yang berteriak
memperingatkanku. Namun semuanya sudah terlambat. Mobil itu menghantam tubuhku.
Tulangku terasa remuk dan pecah berkeping-keping. Kurasakan tubuhku melayang
tinggi, lalu menghantam tanah dengan bunyi derak mengerikan. Semuanya mendadak
hening. Yang dapat kudengar hanyalah dengung aneh yang menyeruak masuk ke dalam
gendang telingaku. Udara mendadak menjadi dingin. Hujan serasa memusuhiku.
Mereka tetap terjatuh meskipun aku telah terkapar tak berdaya di atas tanah.
Bau anyir darah pun mulai tercium. Namun belum sempat aku menyadari semuanya,
selubung gelap telah menyelimuti pandanganku.
Sejak saat itu aku mulai membenci hujan. Aku merasa
hujan telah menghinatiku. Merekalah yang membuat mobil itu tergelincir. Dan
hujan pula-lah yang membuatku tertabrak hingga harus koma selama 3 hari.
Namun diantara semua itu, hal yang membuatku
lebih-lebih membenci hujan, adalah bocah laki-laki itu. Ia sama sekali tak
mendatangiku selama di rumah sakit. Tak ada ucapan terima kasih. Atau apapun.
Semuanya terasa sia-sia.
“Sepertinya kamu sudah mulai menikmati hujan,”suara Ian yang tiba-tiba,
sontak membuyarkan lamunanku. Aku segera bangkit dari posisi berbaringku
tadi. Aku tersenyum padanya.
“Tapi kayaknya kita harus berhenti main. Ada hal lain yang mau aku
tunjukin ke kamu,”ujarnya lagi.
Ia berbalik dan memanggil anak-anak tadi. Dengan
raut wajah menyesal, ia berkata pada anak-anak itu, bahwa kami tidak bisa ikut
bermain lagi. Hal yang sangat mengejutkan bagiku saat melihat ekpresi mereka
yang terlihat sedih ketika mendengar ucapan Ian. Bahkan sebelum kami pergi,
anak paling tua yang tadi sempat
meremehkan kemampuanku, menjabat tanganku dan berkata bahwa permainanku sangat
hebat. Dan lain waktu, ia ingin menantangku kembali. Aku hanya tersenyum
menanggapinya.
Dan kini, Ian menggenggam tanganku lagi. Lalu
kembali mengajakku berlari menembus hujan.
Kami berlari semakin masuk ke dalam perkampungan
kumuh itu. Rumah-rumah yang ada di sekitar sana, hanya terbuat dari papan
triplek dan atap seng yang benar-benar apa adanya.
Namun yang membuatku heran, di setiap atap seng itu,
diletakkan 2 sampai 3 galon air mineral.
“Penduduk di sini memanfaatkan air hujan untuk keperluan mereka. Kayak
minum, mandi, trus banyak lagi. Mereka membutuhkan hujan. Hujan memberikan
kehidupan bagi mereka,”ujar Ian.
Ian mengucapkannya dengan sangat tenang, namun mampu
membuat hatiku bergejolak. Kata-katanya seolah mampu menembus jantungku. Tajam
dan menyentuh.
Mereka membutuhkan hujan. Hujan memberikan kehidupan
bagi mereka.
Hujan lambat laun mulai mereda. Secercah cahaya
matahari, mulai mengintip dari balik awan-awan. Namun Ian tak juga menghentikan
larinya, bahkan ketika kami mulai memasuki jalan raya.
Ian kini mengajakku menyusuri trotoar, lalu berhenti
di depan sebuah rumah bertingkat yang baru dibangun. Dinding-dindingnya masih
berupa batu bata merah. Dan bagian atas rumahnya pun belum dibuat sama sekali.
Hanya ada sebuah tangga yang terbuat dari semen, yang menjadi akses untuk
menuju ke bagian atas rumah yang belum memiliki atap itu.
Ian menatapku sebentar, lalu kembali mengajakku
berlari memasuki rumah itu. Kami berlari menyusuri halaman luas yang tertutupi
semak-semak. Terengah-engah saat mulai menaiki tangga.
Dan akhirnya, sampailah kami dipuncak gedung itu.
Tak pernah kusangka bahwa pemandangan di atas sini benar-benar menabjubkan.
Semuanya terlihat jelas. Bahkan anak-anak yang sedang bermain bola di lapangan
tadi pun, nampak jelas dari sini. Gedung-gedung megah kota Jakarta menjulang
anggun, seolah hendak membelah langit.
Aku tersenyum penuh haru. Hal yang kulihat saat ini,
benar-benar menakjubkan.
“Indah kan?”tanya Ian padaku.
Aku menggeleng-geleng takjub.
“Ini benar-benar menakjubkan, Ian”jawabku.
Ian tersenyum. Ia membimbingku duduk di pinggir
gedung. Sangat mengerikan untuk duduk di
tempat seperti ini. Namun genggaman tangan Ian yang tak kunjung lepas,
meyakinkanku bahwa aku aman dan terlindungi.
Ian menoleh padaku dan menatapku lekat-lekat.
Secercah cahaya matahari sore, terbias pada sebagian wajahnya. Entah hanya
perasaanku aja atau apa, aku merasa wajah Ian terlihat lebih pucat dari
sebelumnya.
“Kau senang?”tanyanya.
“Aku bahagia,”jawabku sembari tersenyum. Senyum paling manis yang bisa
kuberikan. Laki-laki yang duduk di sampingku itu pun ikut tersenyum.
“Terima kasih atas semuanya,”ucap Ian tulus.
Aku mengerutkan keningku heran. Bingung atas
ucapannya.
“Seharusnya aku yang berterima kasih. Kamu bener-bener udah merubah
persepsiku tentang hujan,”ujarku.
Namun Ian tak menjawab. Ia hanya menunduk. Tangan kanannya
tampak mencengkeram dadanya erat-erat.
“Kamu gak apa-apa?”tanyaku khawatir.
Ian menggeleng.
“Aku gak apa-apa. Ana, aku minta maaf karena gak bisa menemui kamu waktu
itu. Aku benar-benar minta maaf,”ucapnya dengan menyesal. Yang sukses membuatku
semakin bingung. Lalu ia mendongak dan kembali menatapku.
“Dan satu hal lagi yang perlu kamu tahu tentang hujan. Mereka
memunculkan pelangi,”
Ian kemudian menunjuk satu titik yang ada di langit.
Aku pun menoleh ke arah yang ditunjuknya. Ya Tuhan! Andai saja aku bisa
menangis saat itu, mungkin aku akan langsung melakukannya. Pelangi! Ya…pelangi!
Melengkung sempurna menghiasi langit yang mulai menguning. Merah, jingga,
kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Aku benar-benar terharu dibuatnya.
“Jangan pernah membenci hujan,”ujar Ian lembut.
“Tidak akan,”jawabku mantap.
oOOo
Selama perjalanan kembali ke halte, Ian tak banyak
bicara. Wajahnya semakin pucat. Dan tarikan napasnya pun semakin terdengar berat.
Namun ketika aku bertanya, laki-laki itu hanya bilang bahwa ia tidak apa-apa
dan aku tak perlu mengkhawatirkannya.
Ketika kami tiba di halte, bus jurusanku sudah
datang. Ian menemaniku hingga masuk ke dalam bus, dan membantuku mencari tempat
duduk.
Sebelum berangkat, laki-laki itu sempat menggenggam
tanganku dan mengelus pipiku lembut. Tak ada kata yang ia ucapkan. Namun
tatapan matanya, sudah cukup untuk menjelaskan semuanya.
Ku akui, aku jatuh cinta pada Ian. Jatuh cinta pada
laki-laki asing yang telah menunjukkanku arti hujan sebenarnya.
“Jaga dirimu baik-baik ya,”ucapnya lembut.
Aku mengangguk sembari tersenyum. Ian mengecup
keningku lembut sekali. Membuatku merinding dan wajahku bersemu merah.
Laki-laki itu pun beranjak keluar ketika kernet
berteriak bahwa bus akan segera melaju. Sungguh berat bagiku untuk melepas Ian
saat itu. Aku merasa, bahwa ini adalah saat terakhir aku melihatnya. Namun
segera kutepis semua pikiran buruk itu. Semuanya akan baik-baik saja.
Dari balik jendela, kulihat Ian melambaikan tangan
padaku. Aku tersenyum dan balas melambai padanya. Hingga akhirnya, bus pun
mulai berjalan meninggalkan halte.
oOOo
Image Source :
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/0/01/Falling_rain_in_mexico.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar