Aku selalu menantinya di halte yang sama. Selama
berbulan-bulan.
Berharap wajah tampannya akan muncul diantara kerumunan
orang-orang. Berharap tubuhnya yang menulang akan muncul di tengah padatnya
jalan raya. Aku selalu berharap bahwa penantian ini tak kan sia-sia. Dan akan
membuahkan hasil yang memuaskan. Namun ternyata tidak. Takdir tetap teguh pada
pendiriannya.
Tapi, di hari itu, di hari ketika aku memutuskan
untuk berhenti menguatkan pegharapan ini, sebuah jawaban datang melalui seorang
wanita paruh baya.
Wanita ini turun dari mobilnya, tepat di depan halte
tempatku menunggu. Ia tersenyum, dan senyumnya membuatku teringat pada sosok
yang sedang kutunggu kehadirannya.
“Kamu Ana ya?”tanya wanita itu.
“I-iya. Saya Ana tante. Tante siapa ya?”ucapku.
“Tante mamanya Ian. Kamu bisa ikut tante sebentar?”
Mataku langsung melotot saat mendengar jawaban dari
bibir wanita itu. Dan tanpa babibu lagi, aku langsung mengangguk dan kami pun
segera masuk ke dalam mobil.
Awalnya aku tak berani meyakini diriku, bahwa
mamanya Ian akan mengajakku ke rumah sakit. Namun saat mobilnya benar-benar
terparkir di pelataran rumah sakit ini, pikiran-pikiran buruk mulai
berseliweran di kepalaku.
“Tante kenapa ngajak saya ke sini? Ada apa dengan Ian?”tanyaku khawatir.
Namun mamanya Ian hanya tersenyum. Aku bisa melihat
bekas lelehan air mata di kedua pipinya yang cekung. Kami mulai berjalan
beriringan memasuki rumah sakit. Bau obat-obatan pun langsung menyergap masuk
ke dalam hidungku.
Kami lalu berhenti di kamar bernomor 203. Mamanya
Ian membuka pintu dan mempersilahkanku masuk terlebih dahulu.
Nyaris saja aku pingsan saat melihat sosok yang
terbaring di atas tempat tidur. Adrian. Terbaring tak berdaya dengan perlatan
medis yang hampir memenuhi tubuhnya. Ian tampak kurus. Tulang-tulangnya
terlihat jelas dari balik kulitnya yang pucat.
Aku segera berlari ke arahnya. Memeluk tubuhnya
seerat mungkin. Air mataku kini sudah berjatuhan. Mengalir deras seperti air
hujan di luar.
“Ian sudah lama nunggu kamu,”kudengar mama Ian berkata.
“Namun baru sekarang bisa tante kabulin. Dia bener-bener sayang sama
kamu. Semenjak kamu nyelamatin dia, 3 tahun yang lalu,”
Aku menoleh ke arah wanita itu. Bingung.
“Nyelamatin Ian? 3 tahun yang lalu?”
“Iya. Kamu yang menolong Ian dari serangan mobil itu. Ian sangat
menyesal karena tidak bisa menjenguk kamu untuk mengucapkan terima kasih.
Akibat kehujanan waktu itu, kondisi Ian drop. Makanya, tante sama om langsung
membawa Ian ke rumah sakit di Singapura,”
Aku sontak menelan ludah.
“Ian sebenarnya tidak bisa bertahan sampai selama
ini. Namun 1 hal yang membuatnya terus berjuang untuk melakukan semuanya, itu
karena kamu, Ana”
Aku tak bisa mengucapkan apa-apa lagi. Semua jawaban
ini terlalu mengejutkan. Ternyata itu yang membuat Ian mengajakku
berlari-larian menikmati hujan. Dan itu pula arti dari ucapan terima kasih dan
permohonan maafnya.
“Tante benar-benar tekejut saat tahu kalau 3 bulan
yang lalu Ian mengajakmu bermain hujan. Anak itu sudah sakit sejak itu. Namun
demi kamu, Ian rela melakukan apa saja. Ian mencintai hujan. Karena kamu juga
melakukan hal yang sama,”
“Ian sudah dari dulu mengagumi kamu. Setiap pergi ke
rumah sakit untuk check up, Ian selalu minta duduk di dekat jendela. Supaya
saat kami melewati halte, dia bisa melihat kamu berdiri di sana sambil bermain
dengan air hujan. Ian juga bilang, kalau kamu mirip tokoh anime yang sering
ditontonnya,”
“Ian sampai nekat menemui kamu meskipun harus
hujan-hujanan. Bahkan tanpa sepengetahuan tante. Tapi…yah…saat itu-lah,
kecelakaan itu terjadi,”
“Dan sekarang, Ian sudah tidak bisa bertahan lagi. Leukimia yang
dideritanya, sudah mencapai stadium akhir. Tapi tante tahu. Ian sudah tenang.
Ia sudah bisa bertemu dengan kamu,”
Sontak kakiku menjadi lemas saat mendengar ucapan
pasrah dari bibir wanita itu. Dan air matakupun mengalir semakin deras.
“Ian,”lirihku.
Perlahan, aku menoleh menatap wajah Ian dengan
nanar. Wajah tampan itu, kini tak lagi menyunggingkan senyuman. Dan mata pekat
itu, kini tak lagi menunjukkan keramahan.
Sosok Ian telah pergi. Mungkin belum, tapi akan. Dan setelah itu, habis
sudah.
Aku menggenggam tangan Ian dalam genggamanku.
Menyelipkan jari-jarinya yang kurus, pada setiap celah jari yang kumiliki. Sama seperti cara Ian menggenggam tanganku
dulu. Air mataku pun meleleh semakin deras. Bibirku tak henti-hentinya bergerak
guna mengelu-elukan namanya.
Namun tiba-tiba saja, kurasakan tangan Ian bergerak
di dalam genggamanku. Aku lantas menjerit.
“Tante! Tangan Ian bergerak,”
“Tante panggil Dokter sekarang,”balas mama Ian panik.
Kulihat mata Ian, lambat laun mulai terbuka. Pelan
dan begitu ringkih.
“Ian,”lirihku.
Seulas senyum terbentuk di wajah tampannya.
“Jangan menangis,”ucap Ian lemah.
Aku hanya menggeleng-geleng tak percaya.
Ian-Ian-Ian. Bertahanlah. Kumohon…
Tangan Ian yang kurus, mengelus kepalaku lembut.
“Jaga diri kamu baik-baik ya,”
Aku mendekap mulutku tak percaya.
“ Dan.. jangan pernah… membenci …hujan..,”
Lalu dengan satu tarikan napas, mata laki-laki itu
pun, terpejam sepenuhnya.
oOOo
Aku masih berdiri di sini. Di tanah pemakaman ini.
Menatap gundukan tanah yang tertutupi bunga-bunga, di mana laki-laki yang ku
cintai, terbaring di dalamnya.
Kini terlalu sulit bagiku untuk membedakan, yang
mana air hujan, dan yang mana air mataku. Semuanya telah bercampur menjadi
satu.
“Ana, ayo pulang. Nanti kamu sakit,”mama berusaha membujukku.
Aku menghela napas lelah.
“Tunggu bentar, ma. Hanya beberapa kata saja,”
Dan aku pun berlutut, lalu menjulurkan tanganku
untuk mengelus-ngelus batu nisan Ian. Setelah menarik napas sebentar, aku pun
berkata :
“Selamat jalan Bocah Hujan. Aku harap kamu bahagia di sana,”
oOOo
Image Source:
http://i.telegraph.co.uk/multimedia/archive/02358/rain-room_2358587k.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar